CLICK HERE FOR BLOGGER TEMPLATES AND MYSPACE LAYOUTS »

Rabu, 10 September 2008

Sengketa Ambalat

BERBAGAI bentuk kemarahan rakyat Indonesia dilontarkan kepada pemerintah Malaysia, terutama terhadap Perdana Menteri Abdullah Ahmad Badawi. Di beberapa kota di Indonesia muncul berbagai gerakan anti-Malaysia, termasuk unjuk rasa di depan gedung Kedutaan Besar Malaysia di Jakarta.

Sekelompok orang yang mengaku WNI sengaja menumpahkan kemarahannya dalam salah satu blog yang dipublikasikan di situs internet Universitas Sains Malaysia (USM).
Kekesalan mereka tersebut disebabkan perlakuan Malaysia yang dinilai mereka arogan dan suka mengklaim sepihak wilayah yang jelas-jelas merupakan bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. Ungkapan kemarahan tersebut juga merepresentasikan perasaan sejumlah kelompok masyarakat lainnya yang juga kesal atas perlakuan pemerintah Malaysia yang berencana “mencaplok” blok Ambalat yang jelas-jelas merupakan wilayah sah Indonesia.
Bahkan konvensi hukum Laut PBB pada 1982 juga secara tidak langsung telah mengakui Indonesia sebagai pemilik blok Ambalat. Ledakan emosional masyarakat kita terhadap kasus Ambalat ini bukan hanya diekspresikan melalui sejumlah kata-kata kasar yang dipublikasikan di internet, tetapi juga diwarnai sejumlah aksi demonstrasi anti-Malaysia. Bahkan slogan politik “Ganyang Malaysia” yang sempat populer di tahun 1960-an, tepatnya pada masa Presiden Soekarno, kini kembali hidup. Pidato Soekarno yang menyerukan gerakan “Ganyang Malaysia” pun begitu ramai disiarkan di sejumlah media elektronik.

Selain itu, sejumlah mahasiswa dan kelompok masyarakat lainnya juga melakukan boikot terhadap hal-hal yang berbau Malaysia. Sampai-sampai, poster besar penyanyi ternama Malaysia Siti Nurhaliza pun dibakar untuk menunjukkan kepada publik dunia bahwa Indonesia marah atas perlakuan Malaysia. Sejumlah masyarakat Indonesia yang emosional tersebut mendesak gerakan “Ganyang Malaysia” patut dihidupkan kembali untuk menegakkan kedaulatan RI. Sejumlah konfrontasi dengan Malaysia di masa lampau, khususnya di era Soekarno, tampaknya sulit dihapus dari kenangan masyarakat kita. Apalagi, harga diri bangsa Indonesia, menurut mereka, juga telah dinistakan oleh sejumlah kasus yang berkaitan dengan keberadaan TKI di negara Jiran tersebut.


sumber: realita kehidupan

0 komentar: